UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat), bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Tim SJSN telah menyusun suatu naskah akademik dan telah diserahkan kepada DPR dalam rangka pengajuan RUU SJSN. Cakupan naskah akademis tersebut meliputi jaminan sosial dengan pendekatan skema asuransi yang mewajibkan pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun dan kematian. Sedangkan bagi tenaga kerja informal dan masyarakat miskin belum tercantum.
Perlindungan Sosial (social protection).
Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial dan jaminan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara.
Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan; tidak berarti bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai alternatif istilah perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering digunakan di dunia internasional adalah perlindungan sosial. ADB membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection).
Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan ‘spring board’; (ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya. Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia, menyejajarkan perlindungan sosial dengan jejaring pengaman bisa berarti menyempitkan makna perlindungan sosial itu sendiri.
Jaminan Sosial (Social Security).
Seperti halnya perlindungan sosial, terdapat pula berbagai macam interpretasi jaminan sosial (social security). ILO (2002) menyebutkan bahwa jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan yang disediakan dalam suatu masyarakat untuk masyarakat itu sendiri melalui berbagai upaya dalam menghadapi kesulitan keuangan yang dapat terjadi karena kesakitan, kelahiran, pengangguran, kecacatan, lanjut usia, ataupun kematian. Lebih jauh dijelaskan bahwa jaminan sosial terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident funds, dan skema yang diselenggarakan oleh employer seperti kompensasi dan program komplimenter lainnya.
Michael von Hauff dalam “The Relevance of Social Security for Economic Development” mengutip kesepakatan dari the World Summit for Social Development di Kopenhagen tahun 1995, bahwa sistem jaminan sosial merupakan komponen esensial dari perluasan pembangunan sosial dan dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Lebih rinci, deklarasi summit tersebut antara lain mencanangkan “to develop and implement policies which ensure that all persons enjoy adequate economic and social protection in the event of unemployment, sickness, during motherhood and child-rearing, in the event of widowhood, disability and in old age.”
Selain untuk penanggulangan kemiskinan, jaminan sosial juga berfungsi sebagai perlindungan bagi individual dalam menghadapi kondisi kehidupan yang semakin memburuk yang tidak dapat ditanggulangi oleh mereka sendiri (von Hauff dan de Haan; 1997).
Barrietos dan Shepherd (2003) menjelaskan bahwa jaminan sosial lebih sempit dibandingkan perlindungan sosial. Jaminan sosial umumnya dihubungkan dengan hal-hal yang menyangkut kompensasi dan program kesejahteraan yang lebih bersifat ‘statutory schemes’.
Adapun bentuk jaminan sosial yang sudah diselenggarakan adalah asuransi sosial yang mencakup asuransi kesehatan (Askes dan Asabri), asuransi kesejahteraan sosial (Askesos), tabungan pensiun (Taspen), jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek); kebijakan ketenagakerjaan seperti cuti hamil, cuti haid, tunjangan sakit/kecelakaan yang dibayarkan oleh perusahaan, dll.
Sejalan dengan perkembangan zama era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan juga memerlukan payung dalam berbagai produk per-Undang-undangan yang dapat mengantisifasinya.
Sebelum Reformasi dalam pembaharuan perundang-undangan perburuhan dan ketenaga kerjaan masalah penyelesaian sengketa buruh masih memakai undang-undang lama antara lain :
a. Undang-undang No.22 Tahun 1957 lembaran Negara No.42 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
b. Undang-undang No.12 Tahun 1964 Lembaga Negara No.93 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta.
Didalam kedua produk Perundang-undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini dimana semakin kompleksnya permasalahan perburuhan Undang-undang lama tersebut tidak dapat lagi memberikan jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa perburuhan, sehingga di undangkanlah Undang-undang lain seperti Undang-undang Hak Azasi Manusia No.39 Tahun 1999, Undang-undang Serikat Pekerja No.21 Tahun 2000, dan Undang-undang penyelesaian perselisihan Industrial No.2 Tahun 2004.
Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia
Undang-undang Hak Azasi Manusia No.39 Tahun 1999 memberi peluang bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham tentang tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-undang No.39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan. Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup.
1. Penyelesaian Melalui Bipartie
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang No.2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Bila terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama. Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan perjanjian perdamaian.
2. Penyelesaian Melalui Mediasi
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004 dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut.
3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut.
4. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) berbunyi :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. cakap melakukan tindakan hukum
c. warga negara Indonesia
d. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun
e. pendidikan sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1)
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter
g. menguasai peraturan perundang-undangan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase dan
h. memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
5. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan
Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam Undang-undang No.22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P.
Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang No.2 Tahun 2004 sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum. Dalam Pasal 56 Undang-undang No.2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari :
a. Hakim
b. Hakim ad Hoc
c. Panitera Muda, dan
d. Panitera Pengganti.
Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari :
a. Hakim Agung
b. Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
c. Panitera
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
g. berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum, dan
h. berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) didirikan tahun 1919 atau setahun setelah Perang Dunia I
berakhir. ILO bertujuan memperbaiki kondisi pekerja sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial di seluruh dunia. Agar tujuan mulia ini dapat terpenuhi, ILO mengadopsi struktur tripartit yang khas yakni terdiri dari perwakilan pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Secara bersama-sama, ketiga unsure dalam tripartit bertugas menentukan strategi dan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan ILO. Konferensi Perburuhan Internasional (International Labor Conference) yang digelar setiap tahun merupakan forum internasional untuk mendiskusikan problem sosial dan perburuhan di seluruh dunia, merumuskan peraturan standar perburuhan dan garis kebijakan umum ILO. Tiap dua tahun, Konferensi Perburuhan Internasional mengadopsi anggaran dan program kerja ILO yang dibiayai oleh iuran negara-negara anggota ILO. Setiap negara anggota ILO diwajibkan mengirim delegasi ke Konferensi (dua wakil pemerintah, dua wakil pengusaha, dan seorang wakil pekerja). Semua wakil memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam diskusi maupun dalam pengambilan keputusan melalui pemungutan suara. ILO adalah satu-satunya organisasi di mana pengusaha dan buruh/pekerja –dua pihak yang menjadi “partner sosial” dalam proses ekonomi- duduk sejajar dan berpartisipasi dengan pihak pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan program. ILO mendorong pemberlakuan metode tripartite di setiap negara anggota dan mendorong terjalinnnya “dialog sosial”, di mana serikat buruh/pekerja dan asosiasi pengusaha sama-sama berperan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan dalam lingkup sosial dan ekonomi. Selama periode antara satu Konferensi ke Konferensi berikutnya, ILO dipimpin oleh sebuah badan bernama Governing Body yang memiliki 56 anggota (terdiri dari 28 wakil pemerintah, 14 wakil pengusaha, dan 14 wakil buruh/pekerja).
Markas ILO atau International Labor Office berlokasi di Jenewa, Swiss. Meski demikian, sistem
administrasi dan manajemen ILO dijalankan secara terdesentralisasi melalui kantor regional dan kantor cabang di lebih dari 40 negara. Pengembangan sektor perburuhan dan sosial yang terkait dengan isu-isu ekonomi khusus dibahas dalam pertemuan sektoral bipartit dan tripartite. Sebuah komite pakar menyiapkan rancangan panduan/materi pelatihan keahlian, pelatihan peningkatan manajerial, keselamatan dan kesehatan kerja, hubungan perburuhan, dan isu-isu pekerja anak dan perempuan. Pertemuan regional juga digelar untuk mendiskusikan hal-hal yang berkembang di wilayah tersebut. ILO memiliki hubungan konsultatif tetap dengan empat organisasi serikat perburuhan internasional yang terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan ILO. Organisasi tersebut adalah;
1. International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU),
2. World Confederation of Labor (WCL)
3. World Federation of Trade Union (WFTU)
4. Organization of African Trade Union Unity (OATUU)
Kebijakan ILO mengenai kemitraan aktif (active partnership) pertama kali diperkenalkan tahun 1994. Tujuannya untuk makin mendekatkan ILO dengan unsur-unsur tripartit di negara anggota dan terus meningkatkan pelayanan teknis yang diprogramkan. Unsur penting dalam konsep kemitraan aktif ini adalah dibentuknya 16 tim multidisiplin regional yang memungkinkan ILO merespon kebutuhankebutuhan akan bantuan teknis secara lebih cepat. Bantuan khusus diberikan kepada serikat buruh/pekerja dalam kerangka kebijakan kemitraan aktif. Prioritas dari kemitraan aktif adalah pemberian bantuan dan nasinat teknis dalam penerapan standar perburuhan internasional, khususnya konvensi dasar ILO tentang pokok-pokok hak asasi manusia. Tim multidispiliner ini berisi pakar-pakar kegiatan pekerja/buruh. Tim ini bertanggungjawab mendorong partisipasi serikat buruh/pekerja dalam kegiatan-kegiatan ILO dan memastikan bahwa program dan proyek yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan serikat buruh/pekerja secara efektif. Biro Pendidikan Pekerja (Actrav) merupakan suatu unit khusus di ILO. Actrav berfungsi memelihara jaringan/hubungan antarserikat buruh/pekerja di negara-negara anggota, menempatkan sumber daya yang dimiliki ILO untuk kepentingan serikat buruh/pekerja, dan untuk menjaga agar ILO tetap berhubungan dekat dengan agenda, prioritas, kepentingan, dan pandangan dari serikat buruh/pekerja. Semuanya untuk menjamin agar program ILO sesuai dengan kebutuhan serikat buruh/pekerja di negara anggotanya. Actrav mengkoordinasikan seluruh kegiatan ILO yang berhubungan dengan organisasi buruh/pekerja baik di markas besarnya maupun di lapangan.
Skala prioritas Actrav adalah untuk mempromosikan:
1. Pengembangan dan penguatan organisasi serikat buruh/pekerja yang representatif, independen,
dan demokratis.
2. Penguatan kapasitas organisasi serikat buruh/pekerja untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
di level legal, sosial dan ekonomi.
3. Forum koordinasi bagi semua kegiatan, program, dan proyek ILO agar sesuai dengan kebutuhan
serikat buruh/pekerja.
4. Partisipasi aktif serikat buruh/pekerja dalam kegiatan-kegiatan ILO.
Actrav memperkuat dan membangun hubungan antara ILO dan serikat buruh/ pekerja di tingkat
sektoral, nasional, regional, dan internasional. Actrav menyediakan bantuan teknis bagi perwakilan
pekerja yang berpartisipasi dalam Konferensi Perburuhan Internasional, Governing Body, serta dalam
pertemuan-pertemuan regional dan sektoral.
Actrav bertindak sebagai penghubung antara serikat buruh/pekerja dengan program bantuan teknis
yang ditawarkan ILO. Actrav juga bekerjasama erat dengan struktur dan konfederasi serikat buruh/
pekerja nasional dan internasional.
http://ilo-mirror.library.cornell.edu/public/english/region/asro/jakarta/download/actrav1.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1522/1/hkmadm-kelelung.pdf